Translate
Senin, 22 April 2013
Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan
Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan
Tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Sebab, sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per haktare (ha), jauh melebihi beras atau jagung.
Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Wahono Sumaryono, kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha. Sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton,” kata dia di Jakarta, baru-baru ini.
Di Indonesia, penggunaan tepung sagu secara umum sebenarnya sudah tidak asing lagi. Apalagi, bagi masyarakat di provinsi Papua atau Malaku. Wahono menyebutkan, penggunaan tepung sagu sebagai bahan campuran produk mie, soun, roti, dan bakso di Indonesia, banyak negara maju yang tidak memiliki hutan sagu, seperti Jepang dan Belanda, sangat berminat mengembangkan komoditas asli Indonesia ini.
Sebab, dari aspek nilai gizi, tepung sagu mempunyai beberapa kelebihan dibanding tepung dari tanaman umbi atau serelia. Menurut Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Banun Harpini, yang mengutip temuan peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Departemen Pertanian, tanaman sagu mengandung pati tidak tercerna yang penting bagi kesehatan pencernaan.
Untuk itu, sagu baik dikembangkan sebagai bahan baku mie, mengandung mie dari tepung terigu. ”Mie berbahan tepung sagu lebih sehat ketimbang mie dari terigu. Namun, mie dari terigu sejauh ini masih terbatas dikembangkan di Bogor, Sukabumi, dan Cianjur,”ujar Banun kepada Investor Daily di Bogor, baru-baru ini.
Berbagai keunggulan sagu, seharusnya mampu menggerakkan peneliti lokal untuk mengembangkan keragaman produk pangan bernilai tambah tinggi yang berbasis sagu. Tidak hanya di pasar domestik, melainkan mencari nilai tambah tinggi di pasar internasional.
Dengan asupan teknologi tepat guna yang didukung kontinuitas pasokan tepung sagu, keuntungan dari agroindustri sagu di pastikan akan terus membesar untuk masa mendatang.
Menurut wahono, pengembangan agroindistri sagu mendesak dilakukan, agar sagu tidak lagi menjadi komoditas yang di marginalkan. Pengembangannya tentu saja memerlukan kerja sama sinergis antara pengusaha, peneliti lokal dan pemerintah.
Selain mie sagu, mie dari tepung singkong (tapioka) juga sangat layak untuk dikembangkan di Indonesia. ”Berbeda dengan mie terigu yang gandumnya harus diimpor, mie sagu dan singkong cocok dikembangkan di Indonesia karena bahan bakunya bisa diproduksi di dalam negeri,” ujar Banun.
Berdasarkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, sejak tahun 2002 pola pangan pokok di Indonesia sudah bergeser ke arah beras ditambah mie dari gandum.
Sebelumnya bisa dibilang masyarakat Indonesia tidak mengenal mie instan yang terbuat dari terigu. Pasalnya, iklim di Indonesia tidak cocok untuk gandum yang merupakan tanaman subtropis.
Mie, terigu juga jenis makanan lainnya yang berbahan baku tepung terigu, pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada pemerintahan orde baru. Kebijakan itu konon untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada beras sebagai makanan pokok, karena jumlah beras di pasar internasional yang memang tipis. Gandum saat itu menjadi pilihan karena bisa bersubstitusi dengan beras sebagai penyuplai kalori.
Lahan Sagu Terbesar
Potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sangat besar saat ini setidaknya ada hutan sagu 1,25 juta hektare (ha) di Papua dan Maluku, serat 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini terbesar di dunia.
Ketua Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI) Nadirman Haska mengatakn, secara tradisional komoditas sagu telah dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meningkatnya konsumsi sagu, maka tanpa upaya pelestarian ekonomi akan punah, sepeti nasib aren, sagu baruk, gebang, nipah dan lontar. Menurut peneliti ahli dari Universitas Kochi Jepang, Yoshinori Yamamoto, beberapa varitas sagu di sekitar Danau Sentani di Provinsi Papua memiliki kadar pati tinggi, seperti para, yepha, osukul, dan folo. Sagu ini dapat digunakan sebagai komodiats substitusi beras bernilai gizi tinggi.
Yoshinori mengatakan, sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Maka itu, Indonesia memiliki cukup modal untuk mengembangkan industri pengolahan sagu.
Berdasarkan catatan BPPT, produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Padahal sagu tidak hanya dipakai industri. Akibatnya, kebutuhan industri yang mencapai sekitar 200 ribu ton setiap tahun harus diimpor.
Rendahnya produksi sagu, karena pemerintah saat ini tidak serius mengembangkan budidaya tanaman tahunan itu. Padahal, sebagai penghasil sari pati terbesar tanaman sagu menjanjikan produksi pati sepanjang tahun. Setiap batang bisa memproduksi sekitar 200 kilogram (kg) tepung sagu basah per tahun, atau 25 hingga 30 ton per ha. Usia tanaman sagu ini sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen.
Tanaman sagu juga cocok untuk dikembangkan di daerah-daerah marginal seperti daerah rawa dan gambut. Dengan demikian pengembangan sagu pada lahan itu tidak hanya menguntungkan secara ekonomis, namun juga dari aspek ekologis.
Dibandingkan dengan mengubah lahan gambut atau rawa menjadi sawah, akan lebih menguntungkan jika dikembangkan untuk kebun sagu. Sebab, pembukaan lahan gambut atau rawa menjadi lahan persawahan biayanya sangat tinggi, tidak sebanding dengan perolehannya. (est/c72/wy)
Sumber : Investor Daily (4/1/06)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar